Kapabilitas sistem
politik merupakan suatu penentu dalam keberhasilan sistem politik untuk dapat menghadapi tantangan baik yang datangnya dari dalam (domestik) maupun luar (internasional). Kapabilitas sistem politik adalah kemampuan sistem politik dalam menghadapi tantangan,
dinamika dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu Negara atau
pengertian lainnya yaitu Kemampuan sistem politik dalam bidang ekstraktif
(kemampuan eksplorasi sumber daya alam, dan juga manusia), distributive
(kemampuan mengelola SDA dan SDM), regulative (kemampuan menyusun
undang-undang, mengatur, serta mengawasi dan mengendalikan tingkah laku
individu, kelompok, organisasi, perusahaan, dll. Sehingga dapat patuh dan taat
kepada undang-undang yang berlaku), simbolik (kemampuan untuk membangun
pencitraan terhadap kepala Negara atau juga rasa bangga terhadap negaranya),
responsive (kapabilitas untuk menciptakan daya tanggap kepada masyarakat), dan
dalam negeri serta internasional (hubungan interaksi dengan luar negeri) untuk
mencapai tujuan nasional seperti dalam pembukaan UUD 1945.
Menurut
almond ada 6 kategori kapabilitas sistem politik yang didasarkan pada
klasifikasi input dan output sistem politik, yang menjadi penilaian prestasi
sebuah sistem politik sebagai berikut:
- Kapabilitas
Ekstraktif
Kapabilitas
Ekstraktif yaitu ukuran kinerja sistem politik dalam mengumpulkan Sumber Daya
Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) dari lingkungan domestik maupun
internasional. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian
digunakan secara maksimal oleh pemerintah.
Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan (batubara, emas, timah,
dll) yang ketika datang para penanam modal domestik maupun internasional itu
akan memberikan pemasukan lagi bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang
kemudian akan menghidupkan rod pemerintahan dan pembangunan.
Contoh
Kasus
Penambangan
emas di Papua oleh PT Freeport Indonesia yang mampu menyetorkan pajak senilai
19 triliun kepada pemerintahan Indonesia. Walaupun kapabilitas ekstraktif ini
telah dilakukan namun pada kenyataanya sumber-sumber material belum mampu
mengolah sumber daya alam untuk mensejahterakan rakyat. Masyarakat tetap saja
bergumul dengan kemelaratan dan kemiskinan, Karena konstribusi pajak senilai 19
triliun itu dinilai tidak sebanding dengan eksplotasi yang dilakukan oleh PT FI
yang berdampak pada kerusakan lingkungan yang berupa Limbah produksi yang
dibuang kesungai. 75 persen hingga 90 persen tanah dikuasai pihak
asing yang menyenunjukan bahawa kapabilitas ekstraktif sistem politik kita
lemah karna sistem politik tidak mampu menghadirkan regulasi yang melindungi
tanah air indonesia. Efek lanjut dari lemahnya
kapabilitas ekstraktif antara lain adalah angka kemiskinan kita yang dalam 9
tahun terakhir tidak berubah secara signifikan berada pada kisaran 12-15
persen.
2.
Kapabilitas
Distributif
Kapabilitas
distributif, yaitu kemampuan dalam mengolah SDA sedemikian rupa yang dimiliki
masyarakat dan negara hasilnya menjadi pemasukan bagi anggaran pemerintah pusat
maupun daerah, dan penggunaannya didistribusikan secara merata kepada
masyarakat yang disesuaikan dengan rupa-rupa kebutuhan masyarakat. Distribusi
barang, jasa, kesempatan, status, dan bahkan juga kehormatan dapat diberi
predikat sebagai prestasi riil sistem politik. Distribusi ini ditujukan kepada
individu maupun semua kelompok masyarakat, seolah-olah sistem poltik itu
pengelola dan merupakan pembagi segala kesempatan, keuntungan dan manfaat bagi
masyarakat.
Contoh
Kasus
Saat
ini masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah
mendapatkan perhatian secara serius. Malahan ada kecenderungan semakin memburuk
mengenai hal ini contoh: Biaya
pendidikan semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu saja yang mampu
mengakses, terlebih lagi harus ada sistem standarisasi kelulusan berupa UN yang
menuai kontra dari berbagai pihak. Bagaimana tidak, sistem ini malah justru
menjadi diskriminasi bagi anak yang bersekolah di pedesaan yang harus disamakan
standarnya dengan anak perkotaan yang jauh lebih banyak penerima fasilitas
pendidikan dibanding dengan anak-anak didaerah terpencil. Demikian pula dalam
pelayanan kesehatan. Semakin mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin
tidak lagi memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang
kaya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar
internasional. Sebagai contoh seorang yang harus kehilangan anaknya karena
ditolak oleh 10 rumah sakit dengan alasan yang tidak tidak logis, menjadi
pemandangan tersendiri bagi bobroknya kapabilitas ditributif dari sistem
politik indonesia
MIMIKA, KOMPAS.com - Sebanyak 12.000 warga yang tersebar di 41 desa di Kabupaten Mimika, Papua, belum mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi tersebut disebabkan karena minimnya ketersediaan tenaga dan infrastruktur.Berdasarkan data yang dihimpunKompas.com, 41 desa yang terletak di daerah pegunungan itu tersebar di lima distrik yakni, Tembagapura, Agimuga, Jila, Hoya, dan Alama. Diketahui bahwa Tembagapura adalah wilayah beroperasinya PT Freeport Indonesia, salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia.Ketika dikonfirmasi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika Ibrahim Iba, saat dihubungi dari Mimika, Jumat (28/11), mengakui, kondisi yang terjadi wilayah-wilayah tersebut. "Belum ada fasilitas kesehatan seperti puskesmas pembantu (Pustu) di 41 desa itu. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat rentan terkena penyakit. Salah satunya adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut," ungkap Ibrahim.Ibrahim menuturkan, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan pihaknya jarang memberikan layanan kesehatan bagi warga di 41 desa itu, antara lain, kondisi geografis yang sulit, kondisi cuaca yang fluktuaktif, dan mahalnya biaya transportasi udara."Biaya sewa pesawat atau helikopter ke desa itu bisa mencapai sekitar Rp 70 juta per sekali jalan. Dari hasil kalkulasi kami, empat kali kunjungan ke 41 desa saja bisa menghabiskan dana sebesar Rp 6,2 miliar. Kami mengharapkan agar Pemprov Papua bisa menyalurkan dana otonomi khusus yang cukup di sektor kesehatan," tutur Ibrahim.Ia menambahkan, Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika telah bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia untuk menyediakan sebanyak 30 tenaga medis dan sarana transportasi bagi enam desa di Distrik Tembagapura.Yustinus Wamang (36), salah seorang warga di Kampung Noya, menuturkan, istri dan anaknya meninggal dunia karena terlambat mendapat perawatan medis beberapa tahun lalu. "Keduanya meninggal karena menderita TBC," ungkapnya.Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aloysius Giyai mengaku kaget dengan masalah yang terjadi di 41 desa itu. “Kebijakan otonomi khusus di Papua telah berjalan 13 tahun. Namun, masih terdapat sejumlah daerah yang belum tersentuh pembangunan khususnya di sektor kesehatan," katanya.Aloysius menyatakan, Gubernur Papua Lukas Enembe telah menetapkan kebijakan mengalokasikan 15 persen dari dana Otsus Rp 80 miliar bagi setiap daerah untuk sektor kesehatan. Karena itu, lanjut Aloysius, tim dari Unit Percepatan dan Pembangunan Kesehatan Papua akan meninjau setiap kampung yang belum tersentuh pelayanan kesehatan.“Tim itu akan mengawasi apakah dana otonomi khusus bagi sektor kesehatan telah diterapkan mencapai 15 persen dan tepat sasaran. Apabila faktanya tidak sesuai Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2014, kami akan merekomendasikan agar kepala daerah itu mendapatkan sanksi,” tukas Aloysius. (Fabio Costa)
3.
Kapabilitas
Regulatif (Pengaturan)
Kapabilitas
regulatif, yaitu sistem politik merupakan penyelenggaraan pengawasan terhadap
tingkah laku individu dan kelompok yang ada di dalamnya; bagaimana penempatan
kekuatan yang sah (pemerintah) untuk mengawasi tingkah laku manusia dan
badan-badan lainnya yang berada di dalamnya, semuanya merupakan ukuran
kapabilitas untuk mengatur atau mengendalikan.
Contoh
kasus
Kemampuan
regulatif adalah kemampuan yang sangat kritis terjadi di indonesia. Regulasi
yang seharusnya hadir sebagai pengontrol dan pengendali tingkah laku dalam
berjalannya sistem politik terkadang disalah
gunakan para pembuat regulasi, bahkan cenderung “membentengi” diri lewat
peraturan yang dibuatnya. Telah banyak peristiwa besar yang terjadi di negara
kita saat ini, seperti DPR yang merupakan pembuat undang-undang, justru mereka
sendiri yang banyak melanggarnya. Selain itu, maraknya kasus mafia hukum yang
notabene dilakukan penegak hukum itu sendiri.
Apabila
kemampuan regulatif sistem politik ini dimaknai sebagai interaksi yang
mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah, maka sungguh tidak
efektif kemampuan sistem politik ini. Karena masih sangat marak aksi
premanisasi yang terjadi tanpa aparat negara yang mampu mencegahnya, bahkan
pengerusakan tempat-tempat ibadah menjadi fenomena tersendiri dalam negeri ini.
JAKARTA, KOMPAS.com - Tokoh Masyarakat Muslim Aceh Singkil, Ramli Malik, menampik kabar bahwa telah terjadi perang agama yang menjadi penyebab pembakaran gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) pada 13 Oktober 2015 lalu di Aceh Singkil.Ramli menjelaskan bahwa hubungan antara umat beragama, terutama Islam dengan Kristen, secara umum tidak ada masalah.Ia juga mengatakan, sebelum terjadi peristiwa yang disertai terbakarnya gereja, tidak pernah ada konflik antara umat Islam dengan Kristen."Semuanya baik-baik saja. Sebelum peristiwa pembakaran gereja, tidak ada konflik antara Islam dengan Kristen di Aceh Singkil," ujar Ramli saat mengadukan masalah kebebasan beragama dan beribadah di Aceh Singkil ke Komnas HAM, Jumat (22/4/2016)Menurut Ramli, peristiwa pembakaran gereja pada tanggal 13 Oktober 2015 itu terjadi karena pemerintah kabupaten kurang tegas dan tidak cepat memberikan izin pembangunan gereja kepada umat Nasrani. Tuntutan demo yang terjadi pada tanggal 6 Oktober 2015 itu, kata Ramli , menuntut pemerintah daerah agar menertibkan rumah ibadah yang tidak memiliki izin, bukan menuntut pengusiran umat Kristen."Jadi asumsinya kalau pemerintah daerah memberikan izin tidak akan ada konflik di sana. Intinya Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil itu menuntut pemerintah menertibkan rumah ibadah yang tidak memiliki izin," ucapnya.Lebih lanjut ia menuturkan bukti bahwa tidak pernah ada peristiwa intoleransi di Aceh Singkil. Setelah ada arus pengungsian pasca pembakaran gereja, banyak rumah-rumah orang Kristen yang ditinggalkan oleh seluruh penghuninya.Kalau memang benar ada konflik antar umat beragama, seharusnya ada upaya perusakan atau pembakaran. Namun, faktanya rumah-rumah orang Kristen tersebut tidak disentuh sama sekali."Pemerintah daerah dan media terlalu cepat mengatakan ada konflik agama di Aceh Singkil. Aceh Singkil dibilang mencekam. Kalau pemerintah daerah benar-benar ingin melindungi masyarakatnya maka segeralah memberikan izin pembangunan rumah ibadah di Aceh Singkil," kata Ramli.Ia pun berharap pemerintah pusat harus terlibat dalam menyelesaikan persoalan tersebut dan Kepolisian serta Badan Intelijen Negara diminta mencari aktor intelektual peristiwa pembakaran gereja pada Oktober 2015 lalu.Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menduga ada motif di luar isu agama yang memicu perusakan tempat ibadah dan bentrokan di Kabupaten Aceh Singkil. Dugaan itu telah ia sampaikan kepada Presiden Joko Widodo."Boleh jadi ada kepentingan-kepentingan lain, tidak sepenuhnya soal agama yang ikut terlibat sebagai pemicu munculnya kasus di Singkil itu," kata Lukman.
4.
Kapabilitas
Simbolik
Kapabilitas
simbolik, yaitu kemampuan mengalirkan simbol dari sistem politik kepada
lingkungan intra-masyarakat maupun ekstra-masyarakat. Faktor kharisma atau
latar belakang sosial elit politik yang bersangkutan dapat menguntungkan bagi
peningkatan kapabilitas simbolik. Kapabilitas simbolik dapat dibedakan dengan
outoput simblik misalnya pameran kekuatan dan upacara militer, kunjungan
pejabat tinggi.
Contoh
Kasus
·Kapabilitas
simbolik pada sistem politik di indonesia saat ini tidak melahirkan pemimpin
yang memiliki jiwa kemimpinan, karismatik dan relegius. Seperti kita ketahui
sosok pemimpin seperti Ir. Soekarno, yang karismatik dan Gusdur sebagai tokoh
agama. Tepuk tangan yang diberikan kepada pidato seorang tokoh politik
merupakan dukungan moral dan tanda penghormatan atas dirinya sebagai pemimpin.
Namun sekarang yang kita lihat tidak lagi terdapat pemimpin yang memiliki
simbol tertentu, sehingga hanya melahirkan kepala pemerintahan yang memimpin
dengan sistem kerja struktural belaka.Tapi pada perkembangannya, kemampuan
simbolik mulai berangsur-angsur memberikan titik terang, karena masyarakat
semakin lama semakin pintar melihat calon-calon pemimpin yang akan dipilihnya.
Pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan tidak akan mampu bertahan lama
karena persaingan politik pun semakin ketat. Siapa yang mampu menarik simpati
masyarakat maka dia yang dipercaya, seperti halnya Jokowi. Gubrakan dalam
kepemimpinannya banyak menuai dukungan dari masyarakat karena gayanya yang
Blusukan membuat orang lebih simpati. Semoga saja apa yang dilakukann pemimpin
di negeri ini bukan untuk pencitraan untuk mendapat simpati dari masyarakat
tapi merupakan gaya kepemimpinana yang bisa membuat Indonesia yang lebih baik.
·
Kapabilitas simbolik
dan kapabilitas internasional sistem politik kita juga lemah dengan menunjuk
pada kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia maupun kasus sebelumnya
kekalahan diplomatik wilayah Indonesia dari Malaysia. Secara ekonomi dengan
merujuk data utang luar negeri Indonesia yang mencapai Rp 2.845.25 triliun
(Kemenkeu, 2015) juga menunjukkan lemahnya kapabilitas simbolik sistem politik
kita di sektor keuangan.
5.
Kapabilitas Responsif
Kapabilitas
responsif, yaitu daya tanggap suatu sistem politik terhadap setiap tekanan
yang berupa tuntutan baik dari lingkungan intra-masyarakat (domestik) maupun
ekstra-masyarakat
(internasional).
Karena itu, dalm suatu sistem politik kapabilitas responsif ini ditentukan oleh
hubungan antara input dan output
Contoh
Kasus
- Mengenai responsivitas, sistem politik kurang mengakomodasi segala kepentingan masyarakat dilingkungan sistem politik itu sendiri. Karena selama ini kecenderungan kebijakan dibuat oleh para elite politik, dan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tuntutan masyarakatpun kurang direspon dengan baik, meskipun ditekan dengan berbagai aksi demonstrasi. Tragedi Demonstrasi yang terjadi sehingga kerusakan bahkan berujung pada kematian menjadi contoh nyata kurang rensonsif pemerintah terhadap tuntutan masyarakat. Dengan hadirnya berbagai Lembaga swadaya masyarakat bisa lebih memudahkan penyampaian aspirasi dan tuntutan masyarakat sehingga kapabilitas responsif yang diciptakan mampu menyeimbangkan antara tuntutan dan kebijakan sehingga sistem politik dapat berjalan normal.
- Target program legislasi nasional (prolegnas) yang tidak tercapai seperti pada prolegnas tahun 2013 dengan target 76 RUU sampai dengan penutupan masa sidang I tahun 2013-2014 hanya 15 RUU yang sudah disyahkan. Bahkan pada periode 2009-2014 ini ada RUU yang sudah jadi Undang Undang kemudian dibatalkan oleh MK karena ada gugatan rakyat, seperti pada kasus UU Badan Hukum Pendidikan. Ini artinya kemampuan merespon input dan memprosesnya menjadi kebijakan nampak begitu lemah.
- Praktek korupsi yang merajalela hingga merugikanm negara mencapai kurang lebih rartusan triliun rupiah per tahun juga menunjukkan lemahnya sistem politik mencegah tumbuh suburnya praktek korupsi. Bahkan korupsi tumbuh subur dalam praktek politik. Lebih dari 60 persen kepala daerah hasil pemilu yang berbiaya mahal itu tersangkut kasus korupsi.Sejumlah menteri juga tersangkut korupsi.Ratusan anggota legislatif juga tersangkut korupsi. Sistem politik saat ini berbiaya mahal hingga setiap kali pemilu biayanya kurang lebih mencapai 50 triliun. Caleg DPRD di tingkat daerah rata rata membutuhkan dana antara Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta. Di tingkat pusat rata-rata memerlukan dana Rp 500 juta – Rp 1,5 miliar. Calon kepala daerah memerlukan dana antara Rp 50-100 miliar, untuk calon Presiden memerlukan dana antara 1 sampai 3 triliun Rupiah( Puspol Indonesia, 2013). Sistem politik yang berbiaya mahal ini telah mendorong praktek korupsi yang saat ini merajalela bahkan sampai pada jantung kekuasaan di Republik ini seperti pada kasus Bailout Bank Century dan kasus korupsi Hambalang yang merontokan Partai Demokrat sebagai partai berkuasa saat ini
6.
Kapabilitas Dalam Negeri dan
Internasional
Suatu sistem politik
berinteraksi dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional.
Kapabilitas domestik suatu sistem politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya
terhadap kapabilitas internasional. Yang dimaksud dengan kapabilitas
internasional ialah kemampuan yang memancar dari dalam ke luar. Misalnya
kebijakan sistem politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Israel, juga akan
mempengaruhi sikap politik negara-negara di timur tengah. Oleh karena itulah
pengaruh tuntutan dan dukungan dari luar negeri terhadap masyarakat dan mesin
politik resmi, maka diolahlah serangkaian respons untuk menghadapinya Politik
luar negeri suatu negara banyak bergantung pada berprosesnya dua variabel,
yaitu kapabilitas dalam negeri dan kapabilitas internasional.
Contoh
Kasus
Kemampuan
domestik sistem politik masih lemah sehingga relasi antara pemerintah dan
masyarakat kurang harmonis, hal ini tergambar dari berbagai aksi
ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah selama ini. Mengenai
kemampuan internasional, sistem politik indonesia sangat terbuka terhadap
kebijakan internasional dan membentuk relasi yang baik dengan dunia
internasional. Namun menjadi ironi ketika sistem politik indonesia memberikan
kebebasan pada dunia internasional untuk berinvestasi, justru mengorbankan masyarakatnya
sendiri. Contoh riil yang terjadi saat ini, dimana adanya perjanjian
perdagangan bebas antara Indonesia dengan China yang justru mematikan industri
lokal. Dimana kebebasan produk Cina masuk kepasaran Indonesia membuat daya beli
masyarakat terhadap produk dalam negeri menjadi berkurang.
Indonesia Dalam Menghadapi Kapabilitas
Dengan melakukan pemanfaatan SDA karena Indonesia memiliki kualitas sumber daya alam (SDA) yang
cukup baik dibandingkan dengan negara lain. Selain pemanfaatan SDA yang dapat
dilakukan oleh masyarakat Indonesia, masyarakat dapat memanfaatkan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang cukup tinggi, dengan pendidikan keterampilan yang variatif,
dan mental berkerja yang tinggi. Industri kreatif, dan variatif dapat menjadi
akses bagi masyarakat Indonesia untuk menghadapi tantangan dalam pembentukan
organisasi bisnis yang dapat bersaing secara global, dan peningkatan produksi
dalam negeri harus semakin menunjang, baik dari secara kualitas dan kuantitas.
·
Perlu adanya rasa
nasionalisme yang ditanamkan sejak kecil kepada masyarakat Indonesia dalam hal
mencintai dan menggunakan produksi lokal Indonesia, dikarenakan tingkat
konsumsi produk asing di Indonesia cukup tinggi, sehingga dapat mematikan
produk-produk lokal. Ketika produk buatan Indonesia dipamerkan dan dijual di
Indonesia, masyarakat tidak tertarik untuk membeli, namun ketika produk
tersebut dijual ke luar negeri, dan kemudian dikembalikan lagi ke Indonesia,
produk tersebut menjadi mahal dan masyarakat lebih tertarik untuk membeli perlu adanya rasa bangga dan mencintai
produksi lokal sejak dini untuk menekan permasalahan tersebut terjadi di
Indonesia.
Komentar