B. PEMBAHASAN
A.
WANITA DALAM
PERSPEKTIF GENDER
Wanita berdasarkan asal bahasanya tidak mengacu pada wanita
yang ditata atau diatur oleh laki-laki atau suami pada umumnya terjadi pada
kaum patriarki. Arti kata wanita sama dengan perempuan, perempuan atau wanita
memiliki wewenang untuk bekerja dan menghidupi keluarga bersama dengan sang
suami. Tidak ada pembagian peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga,
pria dan wanita sama-sama berkewajiban mengasuh anak hingga usia dewasa.Jika
ada wacana perempuan harus di rumah menjaga anak dan memasak untuk suami maka
itu adalah konstruksi peran perempuan karena laki-laki juga bisa melakukan hal
itu, contoh lain misalnya laki-laki yang lebih kuat, tegas dan perempuan lemah
lembut ini yang kemudian disebut dengan gender.
Gender
secara harfiah sering diartikan dengan perbedaan sex antara laki-laki dengan
perempuan. Wanita sering dianggap kaum yang hanya berpatok di sumur,kasur,
dapur. Tidak mempunyai kekuasaan dan sering dianggap kaum yang lemah.
Pembahasan tentang gender lebih dari sekedar perbedaan sex semata tetapi gender
membahas bahwa perbedaan sifat antara lelaki dan perempuan dapat dipertukarkan
dan dapat berubah menurut waktu dan tempat seperti sifat laki-laki yaitu kuat,
perkasa dan rasional juga bisa dimiliki oleh perempuan pada jaman sekarang yang
juga tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Gender sering
mengalami pergeseran-pergeseran nilai yang awalnya antara perempuan dengan
laki-laki hanya mendeskripsikan perbedaan yang cenderung kearah marjinalisasi, subordinasi,
diskriminasi, kekerasan dan stereo type tetapi sekarang lebih kearah persamaan
dan kesejajaran pada masing-masing peranannya. Di sektor publik sendiri,
peranan perempuan konsisten dengan segala keterbatasannya tetapi cenderung
mendalami dengan keingin-tahuan yang besar. Dengan potensi yang ada didalam
dirinya dan keterbatasannya maka perempuan cenderung cepat jenuh dalam
menghadapi aktivitasnya dan membutuhkan proses yang lama dan berbagai tekanan
sehingga hanya yang tangguhlah yang akan bisa bertahan disektor publik. Seruan
ini bersumber dari pengakuan para feminisme bahwa kesetaraan gender berasal
dari dua teori, teori Karl Marx (1818-1883) "analisa konflik" dan
teori "struktur fungsional" Email Durheim (1858-1917). Perbedaan
tersebut juga tergantung pada kelas masyarakat masing-masing daerah, seperti
halnya di Bali bahwa perempuan adalah sosok pekerja keras.
Gender
juga mengalami pergeseran-pergeseran nilai yang awalnya antara perempuan dengan
laki-laki hanya mendeskripsikan perbedaan yang cenderung kearah marjinalisasi,
subordinasi, diskriminasi, kekerasan dan stereotype tetapi sekarang lebih
kearah persamaan dan kesejajaran pada masing-masing peranannya. Di sektor
publik sendiri, peranan perempuan konsisten dengan segala keterbatasannya tetapi
cenderung mendalami dengan keingin-tahuan yang besar. Dengan potensi yang ada
didalam dirinya dan keterbatasannya maka perempuan cenderung cepat jenuh dalam
menghadapi aktivitasnya dan membutuhkan proses yang lama dan berbagai tekanan
sehingga hanya yang tangguhlah yang akan bisa bertahan disektor publik. Dengan
kondisi seperti ini status sosial perempuan menjadi hanya sebatas pemenuhan
kebutuhan saja tanpa ada penekanan pada kreativitas, intelektulitas serta
wawasan yang luas, yang mendorong kepada ke tidak kompetitifan etos kerjanya.
Pola yang non-normatif akan dianggap sebagai hal yang menimbulkan konflik
belaka. Tidak ada lagi keseimbangan dan keharmonisan perempuan dalam meniti
karier di sektor publik.
A. PERANAN
WANITA
Kesadaran
baru tentang pentingnya sebuah peranan perempuan pada sektor publik perlu
dimunculkan untuk meningkatkan daya saing yang seimbang antara perempuan dan
laki-laki tanpa harus memperhatikan jenis kelamin. Tidak hanya sebuah
stereotype yang menekan perempuan untuk berkutat hanya disektor domestik tetapi
menjadi sebuah motivasi yang menghasilkan etos kerja yang tinggi. Walaupun
sampai saat ini kaum wanita sudah banyak berperan dalam posisi yang penting
tetapi masih saja terdapat ketidak-adilan didalamnya seperti perbedaan upah.
Konsep-konsep besar hasil dari pemikiran cemerlang yang didapatnya seakan tidak
membuahkan suatu penghargaan bagi perempuan, hal ini bahkan cenderung mematikan
kreativitas dalam aktivitasnya. Memang secara emosional perempuan terkadang
cenderung posesif dalam menyikapi suatu permasalahan sehingga peranan kaum
laki-laki juga diperlukan sebagai penyeimbang. Tetapi kehadiran kaum perempuan
merupakan sebuah kekuatan baru. Perempuan sudah bisa menyesuaikan diri
dengan milieu (lingkungan dalam arti luas yang mempunyai arti penting
sekali dalam kehidupan manusia) dengan baik, secara aktif maupun selektif.
Partisipasi perempuan secara utuh dalam proses pembangunan akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Kesempatan generasi yang akan datang
akan timbul dengan potensi yang maksimal. Tinggal kita yang berhak menentukan
apakah sebuah pola pikir yang sudah membudaya dapat diubah atau bias gender
akan selalu membudaya. Selayaknya bahwa perempuan menjadi relasi yang saling menguntungkan
bagi laki-laki dalam berhubungan sosial.'
B.
PENGERTIAN
KEKUASAAN
Menurut
Max Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial,
melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar
kemampuan ini. Talcott Parsons mengatakan, “Kekuasaan adalah
kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh
kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem orgnaisasi kolektif.” Dari berbagai
definisi yang dikemukakan para tokoh, pada intinya kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain dalam mencapai
sebuah tujuan tertentu. Kekuasaan
dalam konteks politik adalah kemampuan seseorang untuk memberikan pengaruhnya
terhadap pihak lain dalam proses politik.
Sumber
kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, atau kepercayaan. Kedudukan
merupakan status sosial yang dimiliki seseorang, contohnya seseorang memiliki
kedudukan sebagi seorang gubernur, maka ia memiliki kekuasaan dan wewenang atas
suatu daerah. Contoh kekuasaan yang bersumber dari kekayaan adalah seorang
konglomerat yang berkuasa melakukan apa yang ia kehendaki terhadap pihak lain
dengan uang sebagai sumbernya. Kekuasaan juga dapat bersumber dari kepercayaan.
Kepercayaan ini diberikan oleh masyarakat kepada suatu pihak tertentu ,
contohnya seorang kepala suku dipercayai oleh masyarakatnya untuk menjadi
pemimpin.
C.
PERANAN WANITA DALAM POLITIK
Keterlibatan
wanita dalam politik merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat
negara sebuah rumah tangga, maka wanitalah yang memiliki peran untuk mengurus
rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut. Maka, dapat
dipastikan bahwasanya wanita memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara.Walaupun demikian, bagi negeri yang bernama
Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya. Hal
ini terlihat dari total partisipasi wanitadalam parlemen yang dibatasi hanya
sebesar 30% semata. Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang
menjunjung genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang tak rasional
bagi peran wanita. Hingga saat ini, peran wanitadan representasi politiknya di
parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih
sangat rendah dan memprihatinkan.
Rendahnya
partisipasi wanita tersebut bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni:
- Tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih khususnya
di negara-negara berkembang dan terbelakang.
- Tidak adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik
untuk memperkuat keterampilan politiknya.
- Kurang adanya kesadaran untuk aktif dan terlibat di dalam
kegiatan-kegiatan politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik
formal seperti lembaga legislatif dan partai politik
- Masih adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi
aksesibilitas dan partisipasi wanita dalam pemilu, perlemen dan dalam pemerintahan.
Alasan- alasan
inilah yang menjadi suatu pembeda antara kaum laki- laki dan kaum
wanita.Bahkan, dalam pembagian hak waris, kebebasan bergaul dan semacamnya yang
diatur oleh agama, wanita dibedakan jatah dan bagiannya. Namun, hal ini
bukanlah suatu kerugian bagi seorang wanita, melainkan sebuah pernyataan
tertulis bahwasanya wanita adalah makhluk yang sejatinya harus dijaga harkat
dan martabatnya serta diposisikan dalam konteks yang lebih kompleks dan utama,
dibandingkan dengan urusan laki- laki yang sejatinya mampu untuk menjaga
dirinya sendiri.
Peranan wanita
merupakan merupakan jawaban dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan
kesejahteraan rakyat. Dominasi gender adalah sebuah keharusan yang ditinjau
secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa. Keberhasilan program
pemerintah dan pembangunan yang dicita-citakan tergantung pada partisipasi
seluruh masyarakat, sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan
semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu,
dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat dipengaruhi
oleh unsur - unsur masyarakat, yang pada hakekatnya bahwa pembangunan
dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk
masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat sebagai subyek pembangunan
tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi
wanita perlu untuk diperhitungkan jika tidak ingin disebut bahwa wanita
Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan wanita di Negara - negara lain.
Kenyataan yang
terjadi adalah perempuan masih sering dianggap hanya sekedar mengurusi urusan
dapur dan kerap kali kemampuannya masih diremehkan untuk mengatasi
urusan-urusan krusial. Dalam pemerintahan misalnya, perempuan yang hendak
mencalonkan diri untuk maju pada posisi strategis seperti sebagai anggota
legislatif ataupun pemimpin dalam tingkat daerah, sering kali dianggap sebelah
mata dan kurang diperhitungkan.Hal-hal tersebut kemudian menjadi penyebab
keterlibatan wanita di dunia politik menjadi terlambat. Sejak kemerdekaan
hingga sekarang, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sebelas kali pemilihan
umum, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,1999, 2004,
2009 dan 2014. Dalam hal keterwakilan perempuan, Undang-Undang Nomor 12 tahun
2003 pasal 65 ayat 1 tentang Pemilu yang memuat ketentuan pencalonan perempuan
oleh partai politik sekurang-kurangnya 30% mengawali aspirasi untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan pada ranah politik. Undang-Undang tersebut
kemudian diperbarui dengan lahirnya Undang-Undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008,
yaitu pasal 53 yang menyatakan bahwa daftar calon memuat minimal 30% perempuan,
dan pasal 55 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap tiga nama calon memuat minimal
satu perempuan. Wanita Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang
politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam
pemerintahan.Partisipasi dalam bidang politik ini tidaklah semata - mata hanya
sekedar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif di dalam pengambilan
keputusan politik yang menyangkut kepentingan kesinambungan negara dan bangsa.
Hak suara wanita memiliki kesejajaran dengan laki - laki dalam hal mengambil
dan menentukan keputusan, begitupula apabila wanita terlibat dalam pemilihan
umum untuk memilih salah satu partai politik yang menjadi pilihannya, apalagi
ia duduk sebagai pengurus dari salah satu partai. Dengan mempunyai kesadaran
ini, wanitapun dapat berdiri sendiri dengan kecerdasannya, memilih partai yang
sesuai dengan cita-citanya.Sungguh mengecewakan, jika partai-partai itu menjadi
sasaran pencari untuk untuk sendiri, dan wanita dijadikan alatnya karena tidak
cukup kesadaran di dalam partai. Jika wanita duduk di dalam partai, bukanlah
semata - mata untuk diberi tugas guna menyediakan jamuan pada rapat rapat
partainya atau ketika partai kedatangan tamu agung, tetapi juga memberikan
suaranya bersama dengan anggota laki-laki.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam
politik tidak dapat dikesampingkan, karena memiliki kemampuan dan kecerdasan
yang sama dengan laki - laki. Walaupun demikian, bahwa hak- hak politik yang
dimiliki wanita pada kenyataannya tidaklah sesuai yang diinginkan. Budiardjo
(2004:43) memberikan penjelasan mengenai partisipasi politik sebagai berikut:
Di Negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik
ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui
kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu
dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegangtampuk pimpinan untuk masa
berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan suatu pengejawantahan dari
penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Partisipasi politik
seperti di atas tentu saja akan berarti apabila wanita turut terlibat di
dalamnya. Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yang
sesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi wanita yang lebih besar maka
dianggap menjadi lebih baik.Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat
ditunjukkan dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya
dalam kegiatan- kegiatan politik tersebut. Sebaliknya apabila tingkat
partisipasi politik bagi wanita itu rendah maka dianggap kurang baik, dicirikan
dengan banyak kaum wanita yang tidak menaruh perhatian pada masalah politik
atau kenegaraan. Akibatnya dikhawatirkan apabila terjadi kurangnya pendapat
mengenai kebutuhan politik wanita yang dikemukakan, maka kepala negara menjadi
kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi kaum wanita dan menjadi terabaikan,
sehingga cenderung akan melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Dengan
demikian, bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh wanita dapat
melalui beberapa jalur, yang meliputi :
- Bagi ibu
rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di
lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program pemerintah,
seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain -
lain kegiatan yang menggerakan ibu - ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu
pula turut memberi penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang
berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan
kenegaraan.
- Wanita yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah
satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam
memperjuangkan kaum wanita, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat
dilaksanakannya pemilu.
- Wanita yang
memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat menjalankan fungsi sesuai
dengankemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan
kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang bersangkutan dituntut
untuk memiliki keterampilan dan kemampuan memimpin, sehingga tidak tergantung
pada laki - laki. Kegiatan di pemerintahan ini diharapkan menjadi seorang
pengambilan keputusan, seeprti menjadi lurah/kepala desa, camat, kepala daerah,
atau menjadi kepala bidang/bagian bahkan kepala instansi di tempat kerjanya.
- Wanita yang
bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai pengacara,
jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan jujur
dan adil demi tegaknya hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang
agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain - lain.
Secara
kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria,
perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif,
wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses
dan produk politik Indonesi, harapan bahwa partisipasi yang dilakukan wanita
tidak saja sebagai partisipasi pasif,tetapi juga sebaiknya partisipasi aktif
sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan agar dapat diwujudkan
secara maksimal hingga keberadaannya dapat diperhitungkan,selalu diakui dan
tidak dipandang sebelah mata.
D. Emansipasi Wanita di Bidang Politik dan
Pemerintah
Kiprah
wanita di bidang politik dan pemerintahan di Indonesia mulai bersinar semenjak
lahirnya reformasi politik pada tahun 1998 yang menandai jatuhnya rezim orde
baru. Kaum hawa kini sudah banyak duduk di lembaga legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif, meskipun prosentasenya belum begitu signifikan. Sudah ada
kemajuan berarti, paling tidak produk-produk hukum dan kebijakan yang
dihasilkan kini sudah banyak yang berpihak kepada wanita. Dalam susunan kabinet
sendiri sudah lama ada Kementerian Pemberdayaan Wanita. Emansipasi
bagi perempuan di Indonesia diatur secara formal dalam Undang-undang No. 10
tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang
Partai Politik, kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar
30%, terutama untuk duduk di parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d
Undang-Undang No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah
satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan pasal 53
Undang-Undang mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus
memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Undang-Undang
No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, secara khusus tertulis pada pasal 65
ayat (1); dalam Tata Cara Pencalonan Anggota DPR Pusat, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten / Kota Pasal 65 adalah :
Komentar