Langsung ke konten utama

WANITA DAN KEKUASAAN: PERANAN SERTA KETEWAKILAN WANITA DALAM BIDANG POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Keterwakilan wanita dan peranan wanita dalam bidang politik sangatlah sedikit khususnya dalam lembaga legislatif mengapa hal ini bisa terjadi?    




        Saat ini kebebasan dan demokrasi telah menjadi bagian penting dalam interaksi antar sesama manusia. Sekalipun demokrasi berasal dari tradisi Barat, ia telah menjadi wabah global. Hampir dapat dipastikan tidak ada satu negara pun di dunia ini yang sepi dari tuntuan demokrasi. Meskipun penerapan demokrasi tidaklah seragam pada masing-masing kawasan dunia, demokrasi telah menjadi media masyarakat dunia untuk mengekspresikan kebebasan individu dan hak-haknya sebagai warga negara. Sebagaimana demokrasi, penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan unsur penting untuk mewujudkan sebuah negara yang berkeadaban. Demokrasi dan HAM ibarat dua sisi mata uang yang saling menopang satu sama lain. jika dua unsur ini berjalan dengan baik, pada akhirnya akan lahir masyarakat madani yang demokratis dan peduli HAM. Berbicara soal demokrasi dan HAM erat kaitannya dengan gender. Gender menjadi bahasan yang trend hingga saat ini. Hampir di seluruh dunia dalam soal kesetaraan gender yang lebih banyak menganut sistem patriarki. Istilah patriarki ini menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan. Dalam budaya ini terdapat perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan perempuan dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Laki-laki yang mendapat peran sebagai pencari nafkah dan pelindung, dituntut oleh budaya untuk menjadi perkasa, mampu bekerja keras, dan bersifat rasional, sebaliknya dengan perempuan yang mendapat peran sebagai penanggungjawab pekerjaan domestik dianggap bersifat lemah dan pasif, maka tidak    berkapasitas berkiprah di dunia politik. 

           

















        Di Indonesia, sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam kehidupan sosial, budaya dan politik menjadi pertimbangan atas keadilan gender. Misalnya dalam hal sosial budaya, begitu kentalnya budaya patriaki seperti berbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual, padahal sudah cukup banyak pekerjaan laki-laki dikerjakan pula oleh perempuan di masa kini.  Namun, sesuai dengan sistem demokrasi yang mengedepankan prinsip keterbukaan, persamaan, dan keadilan bagi semua warga negara laki-laki maupun perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain demokrasi memberi akses, kesempatan dan kontrol yang sama bagi semua warga negara untuk terlibat dalam proses politik. semakin demokratis sistem politik, semakin terbuka peluang perempuan terlibat dalam kehidupan politik. 

        Selanjutnya dalam hal politik seperti yang dimuat dalam harian KOMPAS.com pada tahun 2004 lalu, jumlah anggota DPR perempuan hanya mencapai 11,8 persen dari 560 anggota DPR yang ada. Namun, rupanya pada saat Pemilu 2009, jumlah perempuan yang duduk di DPR mampu mencapai angka 18,05 persen.  Meskipun data di tahun 2009 menunjukan adanya peningkatan, namun tidak cukup mewakili kesetaraan gender. Melihat data diatas, dapat kita simpulkan kesetaraan gender sudah berlaku di Indonesia, meskipun jumlah keterwakilannya tidak setara dengan laki-laki. Selain itu, dalam permasalah kompleks seperti di era transisi Indonesia dengan 200 juta lebih penduduk yang masih akan terus bergerak dengan masalah ekonomi, lapangan kerja, kemiskinan dan integrasi bangsa membutuhkan dukungan perempuan didalamnya. Hampir separuh penduduk adalah perempuan (49% atau sekitar 100 juta lebih penduduk perempuan), apabila mereka diberdayakan maka akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat keseluruhan.Dengan melihat data diatas perlu ditinjau keterwakilan perempuan khususnya dalam bidang politik agar dapat menciptakan penguatan terhadap kualitas dan peran perempuan dalam proses demokrasi di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

A.    WANITA DALAM PERSPEKTIF GENDER

        Wanita berdasarkan asal bahasanya tidak mengacu pada wanita yang ditata atau diatur oleh laki-laki atau suami pada umumnya terjadi pada kaum patriarki. Arti kata wanita sama dengan perempuan, perempuan atau wanita memiliki wewenang untuk bekerja dan menghidupi keluarga bersama dengan sang suami. Tidak ada pembagian peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, pria dan wanita sama-sama berkewajiban mengasuh anak hingga usia dewasa.Jika ada wacana perempuan harus di rumah menjaga anak dan memasak untuk suami maka itu adalah konstruksi peran perempuan karena laki-laki juga bisa melakukan hal itu, contoh lain misalnya laki-laki yang lebih kuat, tegas dan perempuan lemah lembut ini yang kemudian disebut dengan gender.

        Gender secara harfiah sering diartikan dengan perbedaan sex antara laki-laki dengan perempuan. Wanita sering dianggap kaum yang hanya berpatok di sumur,kasur, dapur. Tidak mempunyai kekuasaan dan sering dianggap kaum yang lemah. Pembahasan tentang gender lebih dari sekedar perbedaan sex semata tetapi gender membahas bahwa perbedaan sifat antara lelaki dan perempuan dapat dipertukarkan dan dapat berubah menurut waktu dan tempat seperti sifat laki-laki yaitu kuat, perkasa dan rasional juga bisa dimiliki oleh perempuan pada jaman sekarang yang juga tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Gender sering mengalami pergeseran-pergeseran nilai yang awalnya antara perempuan dengan laki-laki hanya mendeskripsikan perbedaan yang cenderung kearah marjinalisasi, subordinasi, diskriminasi, kekerasan dan stereo type tetapi sekarang lebih kearah persamaan dan kesejajaran pada masing-masing peranannya. Di sektor publik sendiri, peranan perempuan konsisten dengan segala keterbatasannya tetapi cenderung mendalami dengan keingin-tahuan yang besar. Dengan potensi yang ada didalam dirinya dan keterbatasannya maka perempuan cenderung cepat jenuh dalam menghadapi aktivitasnya dan membutuhkan proses yang lama dan berbagai tekanan sehingga hanya yang tangguhlah yang akan bisa bertahan disektor publik. Seruan ini bersumber dari pengakuan para feminisme bahwa kesetaraan gender berasal dari dua teori, teori Karl Marx (1818-1883) "analisa konflik" dan teori "struktur fungsional" Email Durheim (1858-1917). Perbedaan tersebut juga tergantung pada kelas masyarakat masing-masing daerah, seperti halnya di Bali bahwa perempuan adalah sosok pekerja keras.
        Gender juga mengalami pergeseran-pergeseran nilai yang awalnya antara perempuan dengan laki-laki hanya mendeskripsikan perbedaan yang cenderung kearah marjinalisasi, subordinasi, diskriminasi, kekerasan dan stereotype tetapi sekarang lebih kearah persamaan dan kesejajaran pada masing-masing peranannya. Di sektor publik sendiri, peranan perempuan konsisten dengan segala keterbatasannya tetapi cenderung mendalami dengan keingin-tahuan yang besar. Dengan potensi yang ada didalam dirinya dan keterbatasannya maka perempuan cenderung cepat jenuh dalam menghadapi aktivitasnya dan membutuhkan proses yang lama dan berbagai tekanan sehingga hanya yang tangguhlah yang akan bisa bertahan disektor publik. Dengan kondisi seperti ini status sosial perempuan menjadi hanya sebatas pemenuhan kebutuhan saja tanpa ada penekanan pada kreativitas, intelektulitas serta wawasan yang luas, yang mendorong kepada ke tidak kompetitifan etos kerjanya. Pola yang non-normatif akan dianggap sebagai hal yang menimbulkan konflik belaka. Tidak ada lagi keseimbangan dan keharmonisan perempuan dalam meniti karier di sektor publik.

A.  PERANAN WANITA

     Kesadaran baru tentang pentingnya sebuah peranan perempuan pada sektor publik perlu dimunculkan untuk meningkatkan daya saing yang seimbang antara perempuan dan laki-laki tanpa harus memperhatikan jenis kelamin. Tidak hanya sebuah stereotype yang menekan perempuan untuk berkutat hanya disektor domestik tetapi menjadi sebuah motivasi yang menghasilkan etos kerja yang tinggi. Walaupun sampai saat ini kaum wanita sudah banyak berperan dalam posisi yang penting tetapi masih saja terdapat ketidak-adilan didalamnya seperti perbedaan upah. Konsep-konsep besar hasil dari pemikiran cemerlang yang didapatnya seakan tidak membuahkan suatu penghargaan bagi perempuan, hal ini bahkan cenderung mematikan kreativitas dalam aktivitasnya. Memang secara emosional perempuan terkadang cenderung posesif dalam menyikapi suatu permasalahan sehingga peranan kaum laki-laki juga diperlukan sebagai penyeimbang. Tetapi kehadiran kaum perempuan merupakan sebuah kekuatan baru. Perempuan sudah bisa menyesuaikan diri dengan milieu (lingkungan dalam arti luas yang mempunyai arti penting sekali dalam kehidupan manusia) dengan baik, secara aktif maupun selektif. Partisipasi perempuan secara utuh dalam proses pembangunan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Kesempatan generasi yang akan datang akan timbul dengan potensi yang maksimal. Tinggal kita yang berhak menentukan apakah sebuah pola pikir yang sudah membudaya dapat diubah atau bias gender akan selalu membudaya. Selayaknya bahwa perempuan menjadi relasi yang saling menguntungkan bagi laki-laki dalam berhubungan sosial.'

B.    PENGERTIAN KEKUASAAN

    Menurut Max Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.  Talcott Parsons mengatakan, “Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem orgnaisasi kolektif.” Dari berbagai definisi yang dikemukakan para tokoh, pada intinya kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain dalam mencapai sebuah tujuan tertentu. Kekuasaan dalam konteks politik adalah kemampuan seseorang untuk memberikan pengaruhnya terhadap pihak lain dalam proses politik. 
        Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, atau kepercayaan. Kedudukan merupakan status sosial yang dimiliki seseorang, contohnya seseorang memiliki kedudukan sebagi seorang gubernur, maka ia memiliki kekuasaan dan wewenang atas suatu daerah. Contoh kekuasaan yang bersumber dari kekayaan adalah seorang konglomerat yang berkuasa melakukan apa yang ia kehendaki terhadap pihak lain dengan uang sebagai sumbernya. Kekuasaan juga dapat bersumber dari kepercayaan. Kepercayaan ini diberikan oleh masyarakat kepada suatu pihak tertentu , contohnya seorang kepala suku dipercayai oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin.


C.    PERANAN WANITA DALAM POLITIK

        Keterlibatan wanita dalam politik merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat negara sebuah rumah tangga, maka wanitalah yang memiliki peran untuk mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut. Maka, dapat dipastikan bahwasanya wanita memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.Walaupun demikian, bagi negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya. Hal ini terlihat dari total partisipasi wanitadalam parlemen yang dibatasi hanya sebesar 30% semata. Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang menjunjung genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang tak rasional bagi peran wanita. Hingga saat ini, peran wanitadan representasi politiknya di parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih sangat rendah dan memprihatinkan.

Rendahnya partisipasi wanita tersebut bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni:
  1. Tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang.
  2. Tidak adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik untuk memperkuat keterampilan politiknya.
  3. Kurang adanya kesadaran untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik formal seperti lembaga legislatif dan partai politik
  4. Masih adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi aksesibilitas dan partisipasi wanita dalam pemilu, perlemen dan dalam pemerintahan.
        Alasan- alasan inilah yang menjadi suatu pembeda antara kaum laki- laki dan kaum wanita.Bahkan, dalam pembagian hak waris, kebebasan bergaul dan semacamnya yang diatur oleh agama, wanita dibedakan jatah dan bagiannya. Namun, hal ini bukanlah suatu kerugian bagi seorang wanita, melainkan sebuah pernyataan tertulis bahwasanya wanita adalah makhluk yang sejatinya harus dijaga harkat dan martabatnya serta diposisikan dalam konteks yang lebih kompleks dan utama, dibandingkan dengan urusan laki- laki yang sejatinya mampu untuk menjaga dirinya sendiri.

        Peranan wanita merupakan merupakan jawaban dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dominasi gender adalah sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa. Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang dicita-citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat, sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat dipengaruhi oleh unsur - unsur masyarakat, yang pada hakekatnya bahwa pembangunan dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat sebagai subyek pembangunan tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi wanita perlu untuk diperhitungkan jika tidak ingin disebut bahwa wanita Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan wanita di Negara - negara lain.
        
        Kenyataan yang terjadi adalah perempuan masih sering dianggap hanya sekedar mengurusi urusan dapur dan kerap kali kemampuannya masih diremehkan untuk mengatasi urusan-urusan krusial. Dalam pemerintahan misalnya, perempuan yang hendak mencalonkan diri untuk maju pada posisi strategis seperti sebagai anggota legislatif ataupun pemimpin dalam tingkat daerah, sering kali dianggap sebelah mata dan kurang diperhitungkan.Hal-hal tersebut kemudian menjadi penyebab keterlibatan wanita di dunia politik menjadi terlambat. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sebelas kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,1999, 2004, 2009 dan 2014. Dalam hal keterwakilan perempuan, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang Pemilu yang memuat ketentuan pencalonan perempuan oleh partai politik sekurang-kurangnya 30% mengawali aspirasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada ranah politik. Undang-Undang tersebut kemudian diperbarui dengan lahirnya Undang-Undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008, yaitu pasal 53 yang menyatakan bahwa daftar calon memuat minimal 30% perempuan, dan pasal 55 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap tiga nama calon memuat minimal satu perempuan. Wanita Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan.Partisipasi dalam bidang politik ini tidaklah semata - mata hanya sekedar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif di dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan kesinambungan negara dan bangsa. Hak suara wanita memiliki kesejajaran dengan laki - laki dalam hal mengambil dan menentukan keputusan, begitupula apabila wanita terlibat dalam pemilihan umum untuk memilih salah satu partai politik yang menjadi pilihannya, apalagi ia duduk sebagai pengurus dari salah satu partai. Dengan mempunyai kesadaran ini, wanitapun dapat berdiri sendiri dengan kecerdasannya, memilih partai yang sesuai dengan cita-citanya.Sungguh mengecewakan, jika partai-partai itu menjadi sasaran pencari untuk untuk sendiri, dan wanita dijadikan alatnya karena tidak cukup kesadaran di dalam partai. Jika wanita duduk di dalam partai, bukanlah semata - mata untuk diberi tugas guna menyediakan jamuan pada rapat rapat partainya atau ketika partai kedatangan tamu agung, tetapi juga memberikan suaranya bersama dengan anggota laki-laki.
        Dengan demikian, jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam politik tidak dapat dikesampingkan, karena memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki - laki. Walaupun demikian, bahwa hak- hak politik yang dimiliki wanita pada kenyataannya tidaklah sesuai yang diinginkan. Budiardjo (2004:43) memberikan penjelasan mengenai partisipasi politik sebagai berikut: Di Negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegangtampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Partisipasi politik seperti di atas tentu saja akan berarti apabila wanita turut terlibat di dalamnya. Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yang sesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi wanita yang lebih besar maka dianggap menjadi lebih baik.Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat ditunjukkan dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam kegiatan- kegiatan politik tersebut. Sebaliknya apabila tingkat partisipasi politik bagi wanita itu rendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum wanita yang tidak menaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan. Akibatnya dikhawatirkan apabila terjadi kurangnya pendapat mengenai kebutuhan politik wanita yang dikemukakan, maka kepala negara menjadi kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi kaum wanita dan menjadi terabaikan, sehingga cenderung akan melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Dengan demikian, bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh wanita dapat melalui beberapa jalur, yang meliputi :

  1. Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB,  dan lain - lain kegiatan yang menggerakan ibu - ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan.
  2. Wanita yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam memperjuangkan kaum wanita, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat dilaksanakannya pemilu.
  3. Wanita yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat menjalankan fungsi sesuai dengankemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang bersangkutan dituntut untuk memiliki keterampilan dan kemampuan memimpin, sehingga tidak tergantung pada laki - laki. Kegiatan di pemerintahan ini diharapkan menjadi seorang pengambilan keputusan, seeprti menjadi lurah/kepala desa, camat, kepala daerah, atau menjadi kepala bidang/bagian bahkan kepala instansi di tempat kerjanya.
  4. Wanita yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan jujur dan adil demi tegaknya hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain - lain.
          Secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesi, harapan bahwa partisipasi yang dilakukan wanita tidak saja sebagai partisipasi pasif,tetapi juga sebaiknya partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan agar dapat diwujudkan secara maksimal hingga keberadaannya dapat diperhitungkan,selalu diakui dan tidak dipandang sebelah mata.


D. Emansipasi Wanita di Bidang Politik dan Pemerintah
        
        Kiprah wanita di bidang politik dan pemerintahan di Indonesia mulai bersinar semenjak lahirnya reformasi politik pada tahun 1998 yang menandai jatuhnya rezim orde baru. Kaum hawa kini sudah banyak duduk di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, meskipun prosentasenya belum begitu signifikan. Sudah ada kemajuan berarti, paling tidak produk-produk hukum dan kebijakan yang dihasilkan kini sudah banyak yang berpihak kepada wanita. Dalam susunan kabinet sendiri sudah lama ada Kementerian Pemberdayaan Wanita. Emansipasi bagi perempuan di Indonesia diatur secara formal dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30%, terutama untuk duduk di parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d Undang-Undang No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan pasal 53 Undang-Undang mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, secara khusus tertulis pada pasal 65 ayat (1); dalam Tata Cara Pencalonan Anggota DPR Pusat, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota Pasal 65 adalah :

(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
(2) Setiap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.
(3) Pengajuan calon anggota DPR Pusat, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan: calon anggota DPR disampaikan kepada KPU; calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU Provinsi yang bersangkutan; dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Kabupaten / Kota yang bersangkutan.

        Sayang hingga saat ini banyak parpol yang masih kesulitan menjaring calon anggota legislatif perempuan, terutama yang memiliki kapabilitas yang memadai, walaupun ada jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di bidang pemerintahan dan hukum telah ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1), namun sejatinya sistem nilai yang masih mengacu pada laki-laki sebagai sentral belum hilang,hal ini menjadi tugas partai politik untuk melakukan rekrutmen para calon legislatif perempuan untuk memenuhi kuota 30%, bisa dilakukan melalui organisasi-organisasi underbow atau ormas-ormas dan melalui perwakilan-perwakilan daerah; dengan adanya perwakilan 30% perempuan di parlemen, harapan akan dapat menyuarakan banyak kepentingan perempuan. Fakta politik menunjukkan bahwa perempuan hampir diseluruh belahan dunia tidak terwakili secara proporsional yaitu hanya menduduki sekitar 14,3% dari keseluruhan anggota parlemen. di Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia dan Denmark memiliki tingkat keterwakilan perempuan paling tinggi, yaitu mencapai 40%, sedangkan jumlah terendah diduduki oleh negara-negara Arab, yang hanya mencapai sekitar 4,6% (International Idea, 2002).
       
        Menurut data pada Badan Pusat Statistik tahun 2000 perempuan memiliki populasi 51% dari 177 orang anggota MPR, perempuan berjumlah 18 orang anggota, yang berarti mencapai hanya 9,2%. Hampir serupa perempuan di DPR berjumlah 45 orang anggota dari 455 orang anggota, yang berarti mencapai 9%. Tingkat partisipasi perempuan Indonesia di lembaga perwakilan rakyat lebih rendah dibandingkan rata-rata negara Asia Tengara lainnya, yaitu 12,7%. Di Indonesia pada pemilu pertama digelar Maret 2001, setelah amandemen konstitusi diberlakukan yang menghasilkan peningkatan signifikan dalam representasi perempuan di parlemen yaitu hampir dua kali lipat dari 25% ke 47% di tingkat National Assembly (MPR).

        Semenjak tahun 1950sampai pemilu 2004, tidak ada perubahan yangsignifikan. Peningkatan muncul pada periode 1987-1992, sebanyak 13%, tetapi justru setelah Tersebut terus mengalami penurunan sampai dengan periode 2004-2009 menjadi 11,8% Cetro pernah pernah mengungkapkan bahwa masalah minimnya keterwakilan perempuan, pada dasarnya di dorong oleh upaya-upaya sistematis atau kesengajaan dari berbagai pihak.  Para pengurus partai politik mungkin sengaja menempatkan perempuan pada urutan tertentu, sehingga mengcilkan kemungkinan calon legislatif perempuan untuk dapat duduk di lembaga legislatif (jurnal perempuan, 2003).  Di samping itu, juga masih minimnya perempuan yang terjun di dunia politik, baik secara baik secara kuantitas maupun kualitas, menyebabkan kemungkinan calon legislatif perempuan untuk duduk di lembaga legislatif semakin mengecil. Minimnya calon legislatif ini dari perempuan merupakan fenomena yang telah lama terjadi di Indonesia. Demikian pula dalam masalah partisipasi politik perempuan. Sebuah pengamatan mengungkapkan bahwa perempuan yang terjun ke dalam kegiatan politik dan mendapat jabatan politik dapat di klasifikasikan menjadi tiga kelompok.

  1. Kelompok pertama Adalah perempuan yang memeroleh jabatan politik karena mereka memiliki hubungan dengan lelaki tertentu. Misalnya, suaminya eksekutif, sang istri duduk di dewan. Ayahnya duduk di legislatif, putrinya dikader untuk duduk di legislatif. Ayahnya memiliki reputasi sosial politik sehingga, putrinya dianggap dan diposisikan cukup mampu menjadi anggota dewan.
  2. Kelompok kedua Adalah perempuan yang terjun ke dunia politik setelah  bebeas tugas dari membesarkan anak-anaknya. Hal itu menyebabkan usia karier politik menjadi lebih pendek.
  3. Kelompok ketiga Adalah perempuan yang dalam usia muda 30an terjun dalam politik. Biasanya mereka telah cukup lama aktif dalam dunia ormas, LSM, atau organisasi ekstra kampus.  Mereka inilah yang termasuk jenis politisi perempuan profesional karier yang jumlahnya paling sedikit akibat proses sosialisasi, pendidikan, dan rekruitmen politik perempuan yang tidak berakar dan berjalan secara sistematis.

Kesimpulan
        Pentingnya sebuah peranan perempuan pada sektor publik perlu dimunculkan untuk meningkatkan daya saing yang seimbang antara perempuan dan laki-laki tanpa harus memperhatikan jenis kelamin. Perempuan pun berhak ambil andil dalam dunia politik. Dengan adanya peraturan baru yang  mengharuskan kuota perempuan 30% yang dirasa masih sangat kurang. Bagaimanapun juga kita harus belajar banyak dari pengalaman negara lain, terutama terhadap negara-negara Skandinavia yang representasi perempuan di parlemen mencapai 40% Sebagai contoh, di Swedia pada tahun 1994, Partai Sosial Demokratik Swedia memperkenalkan zipper principle sebagai regulasi internal partai yaitu, prinsip yang mengatur nomor urut yang mengharuskan partai tersebut memuat nama kandidat perempuan setelah atau sebelum laki-laki secara bergantian. Apabila nama caleg pertama dalam daftar adalah perempuan, pada urutan kedua adalah laki-laki, selanjutnya perempuan, dan seterusnya berselang-seling.
Tetapi juga ada hambatan lain terutama tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang yang membuat rendahnya partisipasi wanita dalam ranah politik. Diharapkan partisipasi dan keterwakilan perempuan signifikan menghasilkan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan. Untuk itu regulasi kuota di Indonesia yang tidak wajib sifatnya tidak cukup karena tidak menjamin meningkatnya akses perempuan di parlemen. Terlebih lagi terkesan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh parpol-parpol di negara Indonesia “hanya” merupakan bentuk respons dari regulasi pemerintah, bukan mekanisme internal parpol yang mereka buat sendiri, oleh karena itu masih diperlukan aturan yang lebih “memaksa”, baik dari pemerintah maupun dari internal partai, agar regulasi kuota menjadi efektif.




Daftar Pustaka
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 61.
(diakses pada Sabtu, 9 September 2017)
(diakses pada Sabtu, 9 September 2017)
x

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapabilitas Sistem Politik Serta Contoh Kasusnya

        Kapabilitas sistem politik merupakan suatu penentu dalam k eberhasilan sistem politik untuk dapat menghadapi tantangan baik yang datangnya dari dalam (domestik) maupun luar (internasional).  Kapabilitas sistem politik  adalah kemampuan sistem politik dalam menghadapi tantangan, dinamika dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu Negara atau pengertian lainnya yaitu Kemampuan sistem politik dalam bidang ekstraktif (kemampuan eksplorasi sumber daya alam, dan juga manusia), distributive (kemampuan mengelola SDA dan SDM), regulative (kemampuan menyusun undang-undang, mengatur, serta mengawasi dan mengendalikan tingkah laku individu, kelompok, organisasi, perusahaan, dll. Sehingga dapat patuh dan taat kepada undang-undang yang berlaku), simbolik (kemampuan untuk membangun pencitraan terhadap kepala Negara atau juga rasa bangga terhadap negaranya), responsive (kapabilitas untuk menciptakan daya tanggap kepada masyarakat), dan dalam negeri serta internasional (hubungan interak

TOKOH-TOKOH SOSIOLOGI EKONOMI KLASIK KARL MARX, EMILE DURKHEIM, MAX WEBER PANDANGAN KARL MARX, EMILE DURKHEIM, MAX WEBER DALAM MENILAI PROSES EKONOMI (PRODUKSI,DISTRIBUSI, KONSUMSI)

TEMA  :          TOKOH-TOKOH SOSIOLOGI EKONOMI  KLASIK KARL MARX, EMILE DURKHEIM, MAX WEBER JUDUL :         PANDANGAN KARL MARX, EMILE DURKHEIM, MAX WEBER DALAM MENILAI PROSES EKONOMI (PRODUKSI,DISTRIBUSI, KONSUMSI) PROSES EKONOMI Manusia sebagai mahluk sosial, tidak akan pernah lepas dari aktivitas-aktivitasekonomi sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhannya. Aktivitas-aktivitas tersebutsering juga disbut dengan proses ekonomi. Proses ekonomi sendiri adalah aktivitas secara keseruhan dari kegiatan ekomi yang meliputi produksi, distribusi dan konsumsi. 1. PRODUKSI           Secara etimologi, kata produksi berasal dari bahasa Inggris “pembuatan; hasil”. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia produksi diartikan sebagai “proses mengeluarkan hasil; penghasilan”. Pengertian produksi tersebut mencakup segala kegiatan, termasuk prosesnya yang dapatmenciptakan hasil, penghasilah dan pembuatan. Dengan demikian, produksi dapat didefinisikan sebagai proses dari segala kegiatan untuk membuat

Analogi Materi Pembelajaran Dalam Dasar-dasar Logika

PENGE R TIAN ANALOGI Analogi dalam bahasa indonesia ialah ‘kias’ (Arab: qasa = mengukur, membandingkan). Analogi kadang-kadang disebut juga analogi induktif yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain ; demikian pengertian analogi jika kita hendak memformulasikan dalam suatu batasan. Dengan demikian dalam setiap tindakan penyimpulan analogik terdapat tiga unsur yaitu: 1.peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi 2. persamaan prinsipal yang menjadi pengikat 3. fenomena yang hendak kita analogikan Sebagian besar pengetahuan kita disamping didapat dengan generalisasi didapat dengan penalaran analogi. Contoh: Jika kita membeli sepasang sepatu (peristiwa) dan kita berkeyakinan bahwa sepatu itu akan enak dan awet dipakai (fenomena yang dianalogikan), Karena sepatu yang dulu dibeli di toko yang sama (persamaan prinsip) awet dan enak dipaka